Jumat, 02 Juli 2010

Novi Ananda

Eni Rosita

Tiara Yantika

OM.LATHANSA

OM.Khavindra

OM.BOLO BOLO

Gilas OBB

Lia Puspita

Ricci Kusuma

Dewi Yahya

Dewi Saharani

Ana Velisa

Dede Selvia

Indri Gading

AJENG FERRARI

Jejak Musik Menimbang Dangdut

DARI tengah kota Jakarta, dari mulut seorang penyanyi muda Betawi bernama Ellya, melantunlah sebuah lagu Boneka dari India. Daun kalender menunjuk angka tahun 1956. Publik tergetar. Tergoda oleh sensualitas dan dinamisme yang unik dalam musiknya, serta penampilannya yang mendebarkan saat membawakan lagu yang diciptakan oleh Husein Bawafie itu. Lantas, seperti dapat diduga, Ellya pun masuk dunia film dan selama beberapa tahun membeludaklah pengikut musik Melayu yang kemudian sohor sebagai dangdut.

D>small 2small 0< pada awalnya tidak selalu menarik hati orang terpelajar, tetapi basis pengikutnya yang luar biasa luas di kalangan masyarakat kelas bawah telah mengundang banyak orang untuk memperbincangkannya. Tidak habis-habis orang mempertanyakan bagaimana mungkin dangdut bisa begitu fenomenal. Ia gencar dipertunjukkan dalam media televisi dan radio serta melalui pertunjukan-pertunjukan langsung di panggung-panggung terbuka. Merangsang masyarakat umum, bahkan anak-anak dan kalangan remaja, untuk menjadikannya sebagai pilihan saluran ekspresi.

Salah satu yang ikut dalam perbincangan itu adalah Dharmo Budi Suseno. Pada awal tahun 2005 terbit bukunya, Dangdut Musik Rakyat. Namun, bersama ini dipermaklumkan dengan hormat kepada para insan yang doyan memperbincangkan dangdut, lelaki atau perempuan, supaya memahami betul-betul perihal buku ini, sehingga tidaklah jadi menyesal di belakang hari, menggerutu atau memaki-maki, ibarat orang membeli barang lancung.

Patut diketahui, sebanyak 60 persen isi buku Dangdut Musik Rakyat adalah teks dan notasi lagu dangdut yang sering dibawakan pedangdut dan diminta penonton. Tambah 10 persen semacam cerita pendek tentang sepak terjang dan petualangan seorang dara yang berhasil memenangi kejuaraan dangdut, tetapi gagal menghadapi massa dangdut di panggung pertamanya.

Lalu, sebanyak 5 persen khusus dipersembahkan oleh sang pengarang untuk diva dangdut Cici Paramida unjuk gigi sebagai seorang pemegang gelar doktor dari America University dengan menuliskan pengantar. Nah, 25 persen sisanya barulah diisi dengan perbincangan hal ihwal dangdut yang meliputi sejarah, perkembangan aspek musikalitasnya yang merambah macam-macam jenis musik lain, serta perjalanan karier pesohor dangdut lengkap dengan rupa-rupa goyangnya dari ngebor sampai ngecor.

DARI yang 25 persen itulah dapat diketahui istilah dangdut muncul pada sekitar tahun 1972-1973, sebagai ejekan yang dicomot begitu saja dari bunyi gendang oleh intelek perkotaan Billi Silabumi di majalah Aktuil, ketika membahas musik Melayu yang laris manis bagai kacang goreng di kalangan masyarakat bawah. Sayangnya, Dharmo dalam menguraikan sejarah dangdut hanya mentok sampai pada tahun 1950-an dan perkaitannya dengan kelompok-kelompok orkes Melayu yang tumbuh marak saat itu. Padahal, beberapa pengamat melihat bahwa musik yang digambarkan secara onomatopoetik itu memiliki sejarah panjang dan asal-usul yang rumit.

Saking panjang dan rumitnya, William H Frederick dalam sebuah esainya yang menantang, "Rhoma Irama and Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesian Popular Culture" di majalah Indonesia (1982) menyebut bahwa dangdut itu-baik semangat sosial maupun peralatannya-bermula dari periode awal kolonial, saat paduan alat musik Indonesia, Arab, dan Barat dimainkan bersama-sama dalam tanjidor, yaitu orkestra mini yang khas dan dipertunjukkan sambil berjalan oleh para budak peliharaan tuan-tuan putih penguasa perkebunan di sekitar Batavia.

Sepanjang abad ke-19, pengaruh-pengaruh lain diserap, seperti dari ansambel China-Betawi yang disebut gambang keromong, lalu keroncong yang dimainkan dalam pertunjukan stambul dan tonil, sebuah drama populer perkotaan yang sedang naik daun sat itu.

Tahun 1940-an harmoni gaya lama secara bertahap memberi tempat untuk bereksperimen dengan irama Melayu yang dipermodern dan banyak dipengaruhi orkestrasi Barat serta irama samba dan rumba. Tahun 1950-an yang atmosfer politiknya menekankan pada pencarian sesuatu yang menunjukkan keaslian, akhirnya membawa para musisi keroncong modern tersebut memasuki tradisi orkes Melayu yang berkembang di daerah yang jauh dari ibu kota dan tempat tinggal para musisi dan kritikus musik, terutama daerah Padang dan Medan. Lagu-lagu ini sohor disebut sebagai lagu Melayu Deli.

Pada tahun 1953 P Ramlee, aktor dari Semenanjung (Malaysia) melalui film Djuwita, bukan saja telah membuat wabah gaya sisiran rambut sedeng alias belah pinggir, tetapi juga membawa sukses besar lagu-lagu Melayu Deli itu.

Said Effendi mendapat sumber inspirasi yang sama untuk film musikal Serodja (1959), di mana dia menulis sendiri musiknya dan menunjukkan akting yang sangat bagus, baik sebagai penyanyi maupun aktor. Dari sinilah bintang Said Effendi mulai bersinar bersama-sama dengan pencipta lagu dan penyanyi lain, seperti A Chalik, Husein Bawafie, dan Hasnah Thahar. Mereka diikuti penyanyi muda, Ellya, yang kemudian sangat terkenal dengan lagu Boneka dari India dan dianggap pantas untuk ditunjuk sebagai lagu dangdut pertama, sekalipun istilah dangdut belum pernah digunakan saat itu.

Keberhasilan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari kepiawaian Husein Bawafie, si pencipta lagu Boneka dari India, dalam mengambil irama dan tekstur bunyi baru (khususnya suara yang ditimbulkan gendang Indonesia, Arab, India, suling dan sitar) yang sebagian besar diambil dari film-film India yang ketika itu membanjiri Indonesia, tetapi dengan tetap menaruh setia pada irama Melayu.

Mungkin sebab itu pula pengamat sejarah Jakarta, Ridwan Saidi, menyatakan bahwa Husein Bawafie yang lahir tahun 1919 itu sebagai penggagas musik Melayu Jakarta dan tokoh yang memegang peranan penting sehingga Jakarta pada tahun 1950-an membukukan kedudukannya sebagai kiblat musik Melayu.

Saat itu memang ada beberapa orkes Melayu (OM) besar yang berdiri di Jakarta, seperti OM Sinar Medan di bawah pimpinan Umar Fauzi Asseran dengan penyanyi A Haris dengan lagu hit Kudaku Lari, Hasnah Thahar yang mendendangkan hit Chayal Penyair, Munif Bahaswan dengan lagu pertama Ditinggal Kekasih.

Ada juga OM Kenangan pimpinan Hussein Aidit dengan lagu yang terkenal Aiga, OM Bukit Siguntang pimpinan A Khalik dengan vokalis Suhaimi yang mencetak hit Burung Nuri, Halimun Malam, dan Cinta Sekejap, dan akhirnya adalah OM Irama Agung pimpinan Said Effendi yang memopulerkan lagu Khayalan Suci.

Namun, dari sekian banyak orkes Melayu itu, Husein Bawafie yang sejak tahun 1930-an telah menciptakan ratusan lagu melalui kelompok musiknya, OM Chandra Lela, dengan penyanyi M Mashabi dan Munif Bahaswan, telah membuat irama Melayu merajai dunia hiburan Jakarta dan memicu berdirinya orkes Melayu hampir di setiap kelurahan. Ia telah banyak memberikan sumbangan pada pembentukan tradisi musik Melayu Jakarta yang mempunyai kekhasan pada rancak yang dinamakan calte, serta rancak tabla, dan pukulan gendangnya yang berbeda dengan Deli dan Semenanjung. Selain itu, musik Melayu Jakarta juga meniadakan penggunaan gong sebagaimana menjadi ciri musik Melayu Deli dan Semenanjung.

DEMIKIANLAH akar-akar sejarah penjadian dangdut sehingga dapatlah lebih terang dan jelas bahwa musik Melayu yang dimaksud oleh Dharmo sebagai akar musik dangdut itu adalah musik Melayu yang berkembang di Jakarta. Selain itu, ada aspek penting dalam perkembangan musik Melayu Jakarta itu sampai ke dangdut yang tampaknya diabaikan oleh Dharmo, yaitu aspek dorongan politik Demokrasi Terpimpin. Pengabaian aspek ini pula yang membuat Dharmo melakukan kesalahan dalam penulisannya.

Dharmo menyebutkan bahwa memasuki tahun 1960, musik Melayu mulai terdesak oleh kehadiran musik rock yang berkembang di perkotaan. Justru pada masa itu yang terjadi adalah sebaliknya. Saat itu orientasi politik-budaya yang mencari keaslian bukan saja telah membawa musisi ke arah irama Melayu, tetapi juga di tingkat massa rupanya dapat memuaskan kebutuhan ideologis masa itu dengan sifatnya yang merakyat dan menawarkan alternatif untuk musik Barat. Apalagi pada tahun 1960-an itulah tengah gencar-gencarnya dilakukan pengganyangan terhadap musik Barat yang oleh kelompok sayap kiri dan nasionalis disapa dengan sebutan musik ngak-ngik-ngok dan dianggap sebagai musik yang merusak moral dan jauh dari kepribadian Indonesia.

Berbarengan dengan meletus peristiwa G30S tahun 1965 dan Soekarno serta segala eksperimen politiknya digulung, barulah perkembangan musik Melayu terlindas oleh gelombang musik rock, country, dan pop Barat yang membanjir mengisi kekosongan yang tercipta akibat larangan pemerintah terhadap musik impor sebelumnya. Apalagi pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto, sebelum membuka pintu untuk kegiatan ekonomi Barat, terlebih dulu membuka lebar-lebar pintu untuk musik rock Inggris dan Amerika yang di era Soekarno justru ingin dilinggis dan disetrika.

Pascaperiode itu, Dharmo memang membahas bahwa dangdut sempat terpukul, tetapi pada tahun 1970-an dangdut mengalami kebangkitan yang menandai era baru jenis musik ini melalui seorang anak muda kawasan modern Tebet, Jakarta Pusat, bernama Rhoma Irama. Ia telah merevolusi musik dangdut dalam peralatan ke arah elektrik sepenuhnya, pembawaan yang teateristik, irama serta lirik yang energetik dan realistik.

Namun, ada satu segi penting yang luput diperhatikan oleh Dharmo, yaitu revolusi dalam tataran profesionalitas bisnisnya yang ditunjukkan dengan mencopot Orkes Melayu di depan nama Soneta, seraya menambahkan kata Group di belakangnya, mengikuti perusahaan-perusahaan multinasional yang ramai bermunculan saat itu (Sinar Group, Kartini Group). Suatu tanda yang dapat dibaca sebagai ambisi agar kreativitas musik Soneta dapat berkombinasi dengan limpahan uang dan teknologi media elektronik (televisi, radio, dan film) untuk membentuk selera dan pasar raksasa. Termasuk juga perlunya dipaparkan segi kompleksitas hubungan dangdut Rhoma Irama dengan Islam dan fenomena sosial tahun 1970-an, di mana kian menganga jurang antara yang kaya dan miskin, yang berkuasa dan yang tidak berdaya, gedongan-kampungan.

Dangdut Sebentar Lagi Mendunia

Meksi tidak jelas benar asal mula musik dangdut yang kini kerap kita dengarkan, toh genre musik ini memiliki potensi mendunia. Itu artinya, dangdut bisa seperti reggae dari Jamaika, atau samba dari Brazil. Jadi bukan tidak mungkin dangdut mendunia? Apa bedanya reggae, samba, dengan dangdut?

Bayangkan prospeknya. Bila seluruh dunia keranjingan dangdut, maka ada permintaan penyanyi dan pemusik dangdut yang besar sekali. Berapa jumlah kafe, bar atau music lounge di dunia? Hal itu sudah kelihatan, paling tidak melalui sebuah program yang diberi judul Dangdut in America.

Program yang digelar oleh New Sound Release (NSR) Productions itu memberikan kesempatan kepada para bule di Amerika mengikuti audisi musik dangdut. Penyanyi Trie Utami, yang ditugasi menjadi salah satu pamasok ide dalam acara itu mengungkapkan, animo para warganegara Amerika ternyata cukup tinggi untuk mengikuti audisi acara tersebut.

"Istimewanya, mereka mengenal dangdut sebagai musik Indonesia. Ini artinya, sekaligus promosi tentang Indonesia juga," ungkapnya dalam sebuah perbincangan.

New Sound Release (NSR) Productions yang diketuai Rissa Asnan memproklamasikan Dangdut in America (DIA) dengan meluncurkan program tayangan di TVRI dan proyek album rekaman kompilasi penyanyi dangdut asal negara Adikuasa.

Proyek akbar ini bisa terbilang membagi laba bagi Indonesia pula, karena diproduksi di Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dengan sekaligus versi bahasa Inggris.

"Saya berterima kasih kepada PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia) yang berpartisipasi dengan memberikan lagu-lagu dangdut ciptaannya. Tanpa mereka, apalah artinya saya?!" ujar Rissa Asnan usai menerima penghargaan MURI atas prakarsanya menyelenggarakan DIA serta mengaudisi penyanyi dangdut AS berbakat dalam format kontes.

Dangdut in America dalam album rekaman, dijanjikan Rissa, bakal beredar berbarengan di Indonesia dan AS pada awal November mendatang.

Salah satu penyanyi yang suaranya bakal menghiasi album Dangdut in America adalah pemenang utama kontes DIA yakni Arreal Hank Tilghman. Pemuda kulit hitam ini demikian tekun mendalami kemampuan bercengkok dangdut, dan konon sempat diajari artis dangdut Thomas Djorghi.

"Saya pertama kali ketemu dengan Arreal di Amerika dan tidak menyangka kalau ternyata dia bisa menyanyi dangdut. Lalu saya mengajaknya ke Jakarta. Saya pernah berduet dengan Arreal sewaktu berlangsung Asian Festival di Philadelphia. Kami saat itu menyanyikan Teka Teki Cinta dalam versi bahasa Inggris," kenang Thomas Djorghi.

Arreal terbilang berjasa mengenalkan sedapnya irama dangdut di pentas hiburan di negaranya dengan antara lain lagu Kegagalan Cinta dan Darah Muda, seperti yang juga dipertontonkannya di Indonesia saat Rhoma Irama merilis dua single dangdut berbahasa India, beberapa waktu lalu.

Saat peluncuran program tayangan DIA untuk TVRI di kediaman Ketua DPR Agung Laksono akhir pekan lalu, Arreal berbangga karena menerima penghargaan MURI berkat jasa-jasanya bagi promosi dangdut di tingkat dunia.

Di awal tulisan disebutkan, seperti juga diungkapkan Trie Utami dalam sebuah perbincangan dengan penulis, susah untuk mencari tahu asal mula musik dangdut yang sekarang ini kita dengar.

"Yah ada yang bilang dari India. Mungkin ada benarnya, tetapi kita di Melayu juga punya kan?" ungkap Trie.

Berdasarkan beberapa literatur, asal mula penamaan genre dangdut merupakan ungkapan untuk cemooh. Said Effendi (almarhum), macan pemusik Melayu pelantun Semalam di Malaysia, misalnya, sangat tak senang dengan istilah dangdut.

"Istilah itu muncul karena perasaan sinis dari mereka yang anti," katanya.

Istilah 'dangdut' pada mulanya memang populer sebagai ejekan sebagian musikus rock terhadap jenis musik yang berakar pada musik India, Melayu Deli, dan gambus itu.

Namun, menurut pengamat musik Bens Leo, boleh jadi Rhoma Irama yang sudah lebih dari 30 tahun silam, gigih memperjuangkan bahasa musik dangdut adalah musik asli Indonesia. Ia dengan caranya sendiri bangga terhadap pelekatan istilah dangdut bagi jenis musiknya.

Lewat syair lagunya yang berjudul Dangdut, lagu yang tercipta pada awal 1970-an, tetapi sampai sekarang masih sering dibawakan oleh penyanyi dangdut generasi baru, Rhoma mengisahkan adanya sejenis musik dengan irama Melayu yang sungguh sedap sekali: "... sulingnya suling bambu/gendangnya kulit lembu/dangdut suara gendang/rasa ingin berdendang...."

Dan sejak itu, tak bisa lain, musik yang melahirkan rasa ingin bergoyang ini bernama dangdut.

Namun, ada juga yang berpendapat kalau istilah dangdut lahir karena dengaran dari permainan tabla atau kendang. "Karena permainan kendang mengeluarkan suara duuuttt... maka disebut musik dangdut," ujar Fajar Budiman, pengamat musik lainnya.

Persaingan Dangdut RI - Malaysia

Munif Bahasuan yang dianggap pelopor musik dangdut mengaku tidak tahu darimana istilah itu berasal. Sebab, ungkapnya, pada 1940-an sudah banyak musik yang lahir berbau dangdut, tetapi belum dinamakan musik dangdut," ujarnya.

Munif menyebut lagu Kudaku Lari, yang dilantunkan A Harris pada 1953, sebagai satu di antara lagu pelopor irama yang kelak disebut dangdut ini.

Alasan Munif, lagu itu telah memberanikan diri memasukkan suara gendang ala India pada orkes yang semula hanya memakai gitar, harmonium, bas, dan mandolin.

Pada 1950-an, selain ada A Harris, juga ada nama-nama penyanyi dangdut lain, seperti Emma Gangga, Hasnah Thahar, dan Juhana Satar. Tapi, kemudian datang masa ketika supremasi terhadap lagu-lagu berirama Melayu direbut negeri jiran Malaysia.

Popularitas P Ramlee, biduan Malaysia yang mengaku keturunan Aceh, memindahkan kiblat musik Melayu ke negeri itu. Melalui tembang Engkau Laksana Bulan dan Azizah, P Ramlee berjaya tak tersaingi. Apalagi setelah itu ia juga membintangi beberapa film layar lebar. Popularitasnya di Indonesia pun makin subur. Semua yang berbau Ramlee menjadi tren.

Tapi, pada 1960-an, muncullah Said Effendi, yang berhasil mengembalikan supremasi irama Melayu dari Malaysia ke Indonesia.

Lewat lagu Bahtera Laju, Said Effendi menempatkan diri sebagai pelantun irama Melayu nomor wahid negeri ini. Ia menyingkirkan popularitas P Ramlee.

Said Effendi memiliki lagu-lagu populer yang diciptakannya sendiri, seperti Bahtera Laju, Timang-timang, dan Fatwa Pujangga, serta lagu karya orang lain, misalnya Semalam di Malaysia (Syaiful Bahri) dan Diambang Sore (Ismail Marzuki).

Ketenaran Said Effendi makin tak tertahan ketika ia muncul dengan lagu Seroja karya Husein Bawafie. Sukses Seroja menarik minat sutradara Nawi Ismail untuk menokohkan Said Effendi ke dalam film dengan judul yang sama. Setelah itu, sutradara Asrul Sani pun menarik Said Effendi untuk membuat film Titian Serambut Dibelah Tujuh.

Pada 1960-an ini pula muncul nama-nama penyanyi seperti Ellya Agus --yang kelak menjadi Ellya Khadam-- Ida Laila, M. Mashabi, dan Munif Bahaswan --yang populer dengan lagu ciptaannya sendiri, Bunga Nirwana.

Pada akhir dekade ini pula mulai muncul penyanyi-penyanyi yang kelak menorehkan jejak penting dalam sejarah dangdut, seperti A Rafiq, Elvie Sukaesih, Muchsin Alatas, Rhoma Irama, dan Mansyur S.

Meski pada masa 1950-1960 irama Melayu menjadi jenis musik yang menyedot banyak penggemar, kepopulerannya benar-benar terdesak oleh kelahiran generasi pop 1960-an.

Band pop seperti Teruna Ria-nya Zaenal Arifin, Eka Sapta-nya Bing Slamet, dan Koes Bersaudara mulai menyemarakkan jagat musik Indonesia dengan gengsi yang lebih dari capaian orkes-orkes Melayu paling terkemuka. Tolok ukur keberhasilan mereka adalah tampil di Istora Senayan, Jakarta.

Sementara, pada saat itu, musik Melayu seolah teronggok di pinggiran. Kiprah orkes-orkes Melayu ini paling hanya sampai resepsi perkawinan. Mereka pun - kecuali sang penyanyi- masih memainkan musik sambil duduk

Terpuruk karena Goyang Erotis

Pertengahan Tahun lalu, sebuah album dangdut diluncurkan. Rada istimewa, karena selain sang artis adalah putra dari Raja Dangdut Rhoma Irama, acara rilis juga berlangsung di resto berjaringan internasional, Planet Hollywood.

Puluhan artis dangdut pun datang. Seperti Munif Bahasuan, Fazal Dath, Mansyur S, Camelia Malik, Cici Faramida, Siti KDI, Dorce, Trio Macan, dll.

Kehadiran mereka seolah ingin menegaskan bahwa dangdut masih ada. Tidak mati suri. Bahkan, sorang penyanyi dangdut asal Amerika, Arreal Tilghman juga hadir.

"Dangdut memang sedang terpuruk, tetapi masih tetap ada," kata Rhoma Irama.

Rhoma mengaku prihatin dengan maraknya penyanyi dangdut yang tampil seronok di atas pentas, menyebabkan jenis musik itu mendapat citra negatif. "Dengan maraknya para artis-artis yang seronok, ini membuat mereka menjadi risih melihat tayangan dangdut, apalagi kalau sudah ditayangkan di televisi," kata Rhoma.

Raja Dangdut Indonesia itu mengaku kerap mendapat keluhan tentang makin meluasnya penampilan pelantun lagu-lagu dangdut seronok. Baik melalui jenis pakaian yang dikenakan, maupun goyangan mereka di atas panggung.

"Saya sering menghadiri majelis taklim, saya sering tabligh akbar, di situ mereka mengeluhkan tampilan seronok para pedangdut. Sampai di masjid-masjid disebut dangdut itu musik setan! Sampai seperti itu!" ungkapnya.

Berdandan seronok plus goyangan tak etis, lanjut Rhoma, merupakan bukti nyata yang membuat pemerintah daerah di Indonesia, melarang penampilan beberapa penyanyi dangdut.

"Itu bukti bahwa mereka dicekal. Karena mereka dianggap membahayakan moral bangsa. Makanya, di mana-mana, di Indonesia ini, yang seronok dicekal," ujar pentolan grup musik Soneta ini.

Secara gamblang Rhoma menyatakan, pada 2009 pihaknya bakal membuat berbagai gebrakan untuk mengubah citra musik dangdut, yang menurutnya telah rusak hingga berujung pada pencekalan terhadap sejumlah penyanyi dangdut.

"Pada 2009 ini, akan kami ajarkan agar kita semua membangun musik dangdut yang bagus. Akan kita adakan langkah-langkah membangkitkan dangdut," ujar Rhoma, tanpa merinci upayanya memulihkan kesan masyarakat terhadap musik dangdut.

Indonesia sebagai asal musik dangdut, kata Rhoma, pantas menjadi kiblat bagi para penikmat musik dangdut di negara-negara lain. "Bahkan, Amerika harus ikut Indonesia. Amerika itu tempatnya musik pop. Kalau ingin tahu perkembangan musik dangdut, Amerika harus melihat Indonesia karena dari Indonesialah asal musik dangdut," tekannya.

Ketertarikan para warga AS terhadap musik dangdut telah dibuktikan Rhoma ketika ia mendapat undangan dari Pittsburg University untuk membawakan lagu-lagu bersama Soneta Group, awal Oktober 2008. Bahkan, ada warga negara AS yang kini berprofesi sebagai penyanyi dangdut, Arreal Tilghman.

"Tapi, sayangnya, karena ada pelaku dangdut yang membawakannya secara asal, dangdut kembali terpuruk," imbuhnya.

Rhoma memang tidak memungkiri bahwa para penikmat musik dangdut merupakan kalangan menengah ke bawah. "Mereka adalah orang-orang religius. Jadi, ketika ada pedangdut yang seronok mereka lebih memilih menghindarinya," ucapnya.

Dangdut memang telah berubah bentuk. Peneliti Amerika, Wiliam H Frederic, dalam disertasi 'Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of Comtemporary Indonesian Populer Culture' (1982), sampai mengatakan bahwa dangdut adalah kejeniusan Indonesia kedua setelah Borobudur.

Bahkan lebih serius lagi, bila di dunia musik AS sosok Mick Jager itu sangat berpengaruh, di Indonesia bandingan sosok sepadan dengannya ada pada figur Rhoma Irama. Keduanya sama-sama jenius dan ototidak. Keduanya mampu tampil ke posisi puncak musikal karena kekuatan bakat alam yang luar biasa hebat.

Meski hidup dengan ingar-bingar, sisi dukungan ilmiah pada musik dangdut memang boleh dibilang minim. Entah mengapa para peneliti enggan mengkaji jenis musik ini. Kalaupun ada yang serius, itu pun terbatas hanya ada pada seorang Endo Suanda. Melalui serial penelitiannya mengenai musik Indonesia yang ia rekam dalam serial kaset, ia mampu menghadirkan sosok musik ini secara lebih utuh.

Dalam penelitiannya, Endo mengatakan bahwa lagu dangdut juga dapat berperan sebagai corong mengungkapkan perasaan rakyat atas kesewenangan penguasa. Banyak contoh protes sosial dalam lagu dangdut. Lagu 'Indonesia' ciptaan Rhoma Irama, misalnya, dengan jelas mengungkap betapa dalam kesenjangan sosial di masyarakat kita: Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin...

Pada dekade pertengahan 1980-an saat rezim Orde Baru tengah berada pada puncak represif, Rhoma Irama bahkan dengan gagah berani bicara mengenai HAM. Dan ini jelas dibayar mahal. Rhoma dipersulit manggung dan dilarang tampil di layar kaca.

Musik dangdut mendunia dengan menyerbu pusat budaya di 75 negara

"Sejak revolusi dangdut yang pertama dulu (1970-an), musik dangdut terus berkembang dan bahkan diminati masyarakat dunia. Saat ini sudah dipelajari oleh pusat budaya di 75 negara," kata H Rhoma Irama, saat menghadiri acara peluncuran album Dangdut in America yang menampilkan penyanyi muda asal Marryland, AS, Arreal Tilghman, di Jakarta, Selasa.

Rhioma, yang menyandang gelar 'The King of Dangdut' mengungkapkan, musik dangdut di Amerika pertama kali dipelajari oleh Profesor Andrew Winebourg di University of Pittsburg. "Dari sini musik dangdut kemudian menyebar ke berbagai negara."

Menanggapi munculnya Arreal Tilghman sebagai warga AS pertama yang membuat album dangdut, Bang Haji (sapaan akrab Rhoma Irama) menyebutnya sebagai kejutan besar.

Arreal Tilghman adalah juara audisi 'Dangdut in America' yang digelar selama dua tahun oleh promotor/produser Rissa Asnan.

"Audisi ini sungguh tidak mudah, Arreal ini saya dapat lewat audisi terakhir tahun lalu, yang digelar di Delaware, Philadelphia," katanya.

Arreal, seorang warga AS berkulit hitam, menyatakan dirinya sebelum mengikuti audisi Dangdut in America bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran.

"Saya tertarik mendengar dangdut, karena musik ini tidak ada di negara saya. Saya mempelajari lagu "Dara Muda" ciptaan Rhoma Irama, dan saya menang. Lagu itu luar biasa, membuat orang asyik bergoyang," katanya.

Peluncuran album Arreal Tilghman ini merupakan kegiatan kedua, setelah sebelumnya diluncurkan di Amerika pada November lalu.

Album itu sendiri berisi delapan lagu, antara lain Puzzle of Love, Sejak Kehadiranmu, I Love You, Duhai Kekasih, You`re The Only One, dan You.

Menjawab wartawan, sang penyanyi mengatakan "Saya tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa datang. Tetapi peluncuran di Amerika kemarin mendapat sambutan luar biasa."

Rhoma Irama, saat diminta berkomentar tentang cengkok suara Arreal, menyatakan, "Secara umum karakter suaranya memenuhi spesifikasi untuk penyanyi dangdut." (sumber: inilah.com)

Perkembang musik dangdut

Ada yang masih inget dengan lagunya Begadang yang dipopulerkan oleh Rhoma Irama?? Apakah aliran musik yang dianut oleh Rhoma Irama sebagai penyanyinya? Ya dangdut aliran musiknya Rhoma Irama. Tapi tahukah teman-teman bahwa sebenarnya dangdut itu berasal dari suara tabla yang dalam dunia dangdut disebut gendang yang memiliki suara khas dang dan ndut, sehingga lama kelamaan menjadi dangdut. Dangdut merupakan salah satu aliran musik yang berkembang dengan subur di Indonesia dan mungkin juga merupakan musik asli Indonesia. Dangdut pula diakui sebagai musik yang membawa aspirasi kalangan masyarakat kelas bawah dengan segala kesederhanaan dan kelugasannya. Ciri khas ini tercermin dari lirik serta bangunan lagunya. Gaya pentas yang sensasional tidak terlepas dari nafas ini. Perkembangan musik dangdut di Indonesia pada saat ini sudah memiliki pangsa pasar yang tidak lagi hanya pada kalangan masyarakat bawah atau pinggiran saja. Kini beberapa musisi papan atas seperti Ahmad Dhani dan Grup band Ungu sudah mulai melirik musik dangdut dengan mengajak bergabungnya Dewi Persik ke dalam Republik Cinta Management dan duet grup band ungu dengan Iis Dahlia. Bahkan Ahmad Dhani menciptakan aliran musik rock'n dut buat iklan salah satu minuman ringan.
Selain itu dapat dilihat dari penggunaan musik dangdut untuk menarik massa ketika masa kampanye yang telah berlangsung beberapa waktu lalu, selalu muncul di setiap acara hiburan bahkan tempat hiburan maupun diskotek pun ada yang khusus memutarkan lagu dangdut. Tidak hanya itu saja bahkan ada beberapa stasiun radio yang menyatakan dirinya sebagai stasiun radio dangdut. Kualitas penyanyi dangdut saat ini tidak perlu diragukan lagi hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya kontes penyanyi lagu dangdut yang diadakan dan semakin seringnya konser musik dangdut dilaksanakan. Beberapa penyanyi dangdut juga telah melakukan konser di luar negeri diantaranya Inul Daratista, Ikke Nurjanah, Liza Natalia, dan Rhoma Irama. Dari musik dangdut inilah muncul kreasi unik berupa goyangan dari para penyanyinya sehingga muncullah istilah goyang ngebor, goyang gergaji, goyang patah-patah dan masih banyak lagi goyangannya. Tapi inti dari dangdut itu bukan dari goyangannya melainkan bagaimana kita menghargai karya musik dalam negeri. Dengan menghargai musik dalam negeri berarti kita ikut melindungi aset budaya kita. Jadi jangan biarkan kita menjadi penonton musik di negeri kita sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Project Pop dengan judul lagu "Dangdut is the music of my country". Bagaimana dengan teman-teman apakah menyukai aliran musik yang satu ini?

Minggu, 20 Juni 2010

Perjalanan Musik Dangdut

Menurut perjalanan musik Dangdut, sebenarnya belumlah berkurun waktu lama. Catatannya baru mulai di era 70an.Tapi jika ingin mengikutsertakan cikal bakalnya, kita harus menengok ke awal dekade 50an. Kita harus memasuki dan mengenali musik melayu Deli yang berada di Sumatra. Dan kalaupun mau, kita masih bisa menelusuri sejarah musik Melayu Deli ini.


Tapi baiklah, road to dangdut ini kita mainkan dalam rentang 50an hingga hari ini. Untuk memudahkan, marilah kita menertibkan fikiran untuk menyimak dua buah lagu. Yang pertama, putarlah lagu Harapan Hampa karya Mashabi yang pada awalnya dinyanyikan oleh Nur Ain, lalu dipopulerkan oleh Hasna Thahar. Setelah itu putarlah lagu Mbah Dukun karya Endang Kurnia yang dinyanyikan oleh Alam. Kita pasti berkomentar bahwa ke dua lagu tersebut adalah dua hal yang berbeda. Atau bisa juga
kita simak dua komposisi yang cukup terbilang dahsyat, yang satu judulnya Kuda Lumping milik Rhoma Irama dan satunya lagi Goyang Dombret milik Ukat S. Rentang waktu penciptaan diantara dua lagu yang boleh dibilang magis itu -karena mampu membuat crowd- cukup senggang. Begitulah dangdut, kendati belum lagi terbilang lama, tapi dalam perjalanannya, musik melayu ini mempunyai tiang-tiang atau rambu-rambu yang menandakan akan kurunnya.

Dalam road to Dangdut ini, kita coba menguaknya ke dalam 3 dekade. Pertama periode 1950-1970. Pada periode inilah kita menamai sub ini sebagai Melayu Modern. Di dekade 50an ada beberapa Orkes Melayu (OM) yang menjadi pentolan, seperti OM Sinar Medan yang dikomandoi oleh Umar fauzi Azeran. Di dalam OM ini bergabung beberapa penyanyi seperti Emma Gangga, Hasna Thahar. A. Harris atau juga Munif Bahasuan. Lalu ada pula OM Kenanga pimpinan Husein Aidid dengan penyanyi Juhana Sattar, R.O Unarsih, OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik dengan sederet penyanyi, antara lain Nur’ain, Neng Yatima, atau Suhaimi. Dan ada pula OM Irama Agung yang dipimpin oleh S Effendi. Lalu di atas itu tercatat beberapa nama OM antara lain OM Candralela dengan penyanyi Elly Agus, OM Sinar Kemala dengan penyanyi andalan A Rafiq dan tercatat pula OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria dengan penyanyi andalan Elvy Sukaesih dan Titing Yenny.


Salah satu ciri khas orkes melayu pada saat itu antara lain, nama pimpinannya merupakan sebuah jaminan mutu, lalu setiap orkes melayu mempunyai lebih dari 3 penyanyi. Dan para penyanyi itu tentu saja berpindah-pindah dari satu OM ke OM lain. Biasanya, bila sang penyanyi (terutama penyanyi pria) sudah merasa besar, iapun mendirikan OM sendiri. Begitulah regenerasi OM pada saat itu.


Sedangkan ciri equipmentnya adalah, alat musiknya akustik, dengan standarisasi melayu, seperti akordion, suling, gendang, madolin, dan dalam perkembangan di era ini adalah organ mekanik serta biola. Dari hal ini bisa kita kukuhkan opini para pengamat musik terdahulu yang berkesimpulan bahwa Dangdut dan cikal bakalnya sangat dipengaruhi oleh musik-musik dari India, Arab, Tiongkok, dan barat (terutama dari Spanyol, Portugis dan Belanda). Ciri lagunya, sangat pakem, terutama
pada intro, dan interlude. Iramanya terbagi dalam tiga bagian yaitu senandung (sangat lambat), lagu dua (iramanya agak cepat) dan makinang (lebih cepat ). Liriknya masih lekat pada pantun, dan irama musiknya sangat melankolik. Jika ingin mengenal lagu lagu dalam dekade 50-60 ini maka kita bisa menyimak lagu-lagu seperti Burung Nuri, Harapan Hampa, Seroja atau Boneka Dari India.


Kedua adalah periode 1970-1990. Memasuki tahun 70, sesuai dengan perkembangan tehnologi, Dangdut mau tak mau harus menyesuaikan performnya dengan jaman. Karena hadirnya instrumen-instrumen elektrik, warna Dangdut ikut berubah. Kendati warna India (pada cengkok), dan Latin (perkusi yang makin doninan) tetap menjadi patokan, tapi unsur-unsur musik lain, seperti seperti rock dan blues menjadi mainan baru bagi musik ini.


Di era 70an, Dangdut seakan menemukan kostumnya yang lebih rapi. Inilah masa peralihan dari musik orkes melayu modern ke musik Dangdut. Dan tak dapat disangkal, kehadiran Rhoma Irama dengan Sonetanya menjadi sebuah momentum yang akbar. Masuknya sound rock (tepatnya sound milik Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple), terutama dengan distorsi pada gitar membuat Dangdut menjadi fenomenal.


Tak hanya itu, Rhoma Irama juga membawa pembaruan dalam showmanship. Kostumnya tak lagi ala teluk belanga dengan kopiah hitam, tapi berganti dengan celana ketat, kaus dengan belahan dada yang lebar, dan sepatu boots. Ingat saja menampilan Rhoma Irama ketika duet dengan Rita Sugiarto dalam klip lagu andalannya, Santai.

Karena memasuki kamar rock, maka ketika itu orang-orang rock pun merasa agak risih. Perihal Dangdut masih dianggap sebagai musik kaum marginal, yang masih dipandang sebelah mata oleh orang rock, itu dinyatakan secara frontal oleh Benny Soebardja. Gitaris Giant Step ini berkomentar bahwa musik Dangdut iyu taik kucing. Tak alang kepalang, masalah ini menjadi konflik yang panas di dua kubu musik ini. Beberapa diskusi kecilpun dibahas. Melihat dari sisi positifnya, karena hal itu pula Dangdut makin dilirik oleh masyarakat banyak. Rhoma tampil dengan arif dalam menghadapi masalah ini, dampaknya, nama Rhoma makin melambung.


Satu yang perlu dicatat dalam percaturan dunia musik Indonesia, kita tak terbiasa menghadapi polemik-polemik dengan ilmiah. Perseteruan Benny Soebardja terhadap Dangdut hanyalah salah satu kasus. Tapi ada satu hal yang belum terungkap. Pada tahun 1976, Ian Antono dan Achmad Albar (gitaris dan vocalis group rock Godbless) tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, dengan tiba-tiba melangsir album rock dangdut yang berjudul Zakia. Yang membuat lain, musik yang mereka buat benar-benar charming untuk ukuran Dangdut. Saya menduga bahwa Ian Antono ingin memberi tahu kepada rekan-rekan musisi Dangdut, bahwa beginilah harusnya lagu-lagu
Dangdut diaransemen. Sementara pada tahun itu di dunia dangdut belum lahir kepermukaan posisi seorang penata musik. Pengakuan penata musik di industri rekaman Indonesia baru muncul pada dekade 1990.


Tapi entah kenapa juga, album Zakia di sambut dingin oleh musisi Dangdut pada masa itu. Sedangkan pemusik rock malah tampak sebal pada proyek ini. Deddy Stanzah, bassist, voclais dan pendiri Rollies, (alm) bahkan menuduh mereka sebagai pengkhianat rock. Tapi yang pasti, lagu Zakia tersebut boleh dibilang salah satu lagu Dangdut yang lestari hingga hari ini.


Tapi apapun tantangan Dangdut dalam soal figur, ia tetap berkembang. Setelah Rhoma mengadakan pembaruan pada dekade 70, maka pada dekade 80an Dangdut berkembang lagi. Ledakan Tarantula (diprakarsai oleh Reynold Panggabean, mantan drummer Mercy’s dan Camelia Malik) dengan musik eksperimen yang lebih condong ke Latin itu menggebrak dunia permusikan Dangdut. Lagu seperti Colak-colek atau Wakuncar mengalami masa booming. Bedanya, jika Rhoma Irama pada akhirnya condong pada tema-tema yang relegius, maka Tarantula tampil dengan tema-tema yang remaja dengan ungkapan-ungkapan yang gaul.


Pada 80-an ini pulalah, lagu-lagu yang menjadi hits mulai menampakan gejala yang lain, yaitu unsur India makin tipis pengaruhnya pada dekade ini. Hal ini bisa kita simak seperti pada lagu Mandi Madu, Sakit Gigi atau pada lagu Duh Engkang. Bahkan lagu Duh Engkang, merupakan trend baru dalam perjalanan musik dangdut. Sejak lagu ciptaan Muchtar B ini di edarkan, Dangdut boleh dibilang kemasukan unsur tradisional. Sejak itu lahir lagu-lagu Dangdut dengan kombinasi etnik. Tapi disisi lain,
ada pula kembangan lain yang perlu dicatat, yaitu hadirnya pengaruh disco. remix atau beberapa lagu Dangdut dalam format pop. Atau Dangdut saduran dari lagu-lagu asli India, atau dari beberapa negara lain. Dan di era ini pula , Dangdut kedatangan penghuni baru, yaitu hadirnya pecipta-pencupta pop yang menemasuki wilayah Dangdut. Catat saja misalnya lagu Sakit Gigi yang diciptakan Obbie Messakh. Atau hadirnya pemusik pop dalam penggarapan lagu-lagu Dangdut, seperti lagu Mandi
Madu, dimana session playernya terdiri dari Mus Mujiono (gitaris jazz), Chairul D’Loyd (drammer).


Terakhir adalah era 1990-2002. Inilah masa-masa Dangdut menjadi sangat variatif. Dangdut sudah menjadi sebuah terminal, dimana di dalamnya lalu lalang hampir semua jenis dan aliran musik lainnya. Dan kalau kita lihat lagu-lagu Dangdut era terakhir, fenomenanya adalah kristalisasi dari bentuk-bentuk Dangdut awal. Salah satu tegasnya adalah lagu Mbah Dukun yang merupakan kristalisasi dari Dangdut era 70an.

Apa itu Dangdut

Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi). Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.

Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu.

Dangdut kontemporer telah berbeda dari akarnya, musik Melayu, meskipun orang masih dapat merasakan sentuhannya.

Orkes Melayu (biasa disingkat OM, sebutan yang masih sering dipakai untuk suatu grup musik dangdut) yang asli menggunakan alat musik seperti gitar akustik, akordeon, rebana, gambus, dan suling, bahkan gong. Pada tahun 1950-an dan 1960-an banyak berkembang orkes-orkes Melayu di Jakarta yang memainkan lagu-lagu Melayu Deli dari Sumatera (sekitar Medan). Pada masa ini mulai masuk eksperimen masuknya unsur India dalam musik Melayu. Perkembangan dunia sinema pada masa itu dan politik anti-Barat dari Presiden Sukarno menjadi pupuk bagi grup-grup ini. Dari masa ini dapat dicatat nama-nama seperti P. Ramlee (dari Malaya), Said Effendi (dengan lagu Seroja), Ellya (dengan gaya panggung seperti penari India), Husein Bawafie sang pencipta Boneka dari India, Munif Bahaswan, serta M. Mashabi (pencipta skor film "Ratapan Anak Tiri" yang sangat populer di tahun 1970-an).

Gaya bermusik masa ini masih terus bertahan hingga 1970-an, walaupun pada saat itu juga terjadi perubahan besar di kancah musik Melayu yang dimotori oleh Soneta Group pimpinan Rhoma Irama. Beberapa nama dari masa 1970-an yang dapat disebut adalah Mansyur S., Ida Laila, A. Rafiq, serta Muchsin Alatas. Populernya musik Melayu dapat dilihat dari keluarnya beberapa album pop Melayu oleh kelompok musik pop Koes Plus di masa jayanya.

Dangdut modern, yang berkembang pada awal tahun 1970-an sejalan dengan politik Indonesia yang ramah terhadap budaya Barat, memasukkan alat-alat musik modern Barat seperti gitar listrik, organ elektrik, perkusi, terompet, saksofon, obo, dan lain-lain untuk meningkatkan variasi dan sebagai lahan kreativitas pemusik-pemusiknya. Mandolin juga masuk sebagai unsur penting. Pengaruh rock (terutama pada permainan gitar) sangat kental terasa pada musik dangdut. Tahun 1970-an menjadi ajang 'pertempuran' bagi musik dangdut dan musik rock dalam merebut pasar musik Indonesia, hingga pernah diadakan konser 'duel' antara Soneta Group dan God Bless. Praktis sejak masa ini musik Melayu telah berubah, termasuk dalam pola bisnis bermusiknya.

Pada paruh akhir dekade 1970-an juga berkembang variasi "dangdut humor" yang dimotori oleh OM Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Orkes ini, yang berangkat dari gaya musik melayu deli, membantu diseminasi dangdut di kalangan mahasiswa. Subgenre ini diteruskan, misalnya, oleh OM Pengantar Minum Racun (PMR) dan, pada awal tahun 2000-an, oleh Orkes Pemuda Harapan Bangsa (PHB).
sukses terus Musik dangdut Indonesia.

sejarah dangdut

Merunut perjalanan musik Dangdut, sebenarnya belumlah berkurun waktu lama. Catatannya baru mulai di era 70an.Tapi jika ingin mengikutsertakan cikal bakalnya, kita harus menengok ke awal dekade 50an. Kita harus memasuki dan mengenali musik melayu Deli yang berada di Sumatra. Dan kalaupun mau, kita masih bisa menelusuri sejarah musik Melayu Deli ini.


Tapi baiklah, road to dangdut ini kita mainkan dalam rentang 50an hingga hari ini. Untuk memudahkan, marilah kita menertibkan fikiran untuk menyimak dua buah lagu. Yang pertama, putarlah lagu Harapan Hampa karya Mashabi yang pada awalnya dinyanyikan oleh Nur Ain, lalu dipopulerkan oleh Hasna Thahar. Setelah itu putarlah lagu Mbah Dukun karya Endang Kurnia yang dinyanyikan oleh Alam. Kita pasti berkomentar bahwa ke dua lagu tersebut adalah dua hal yang berbeda. Atau bisa juga
kita simak dua komposisi yang cukup terbilang dahsyat, yang satu judulnya Kuda Lumping milik Rhoma Irama dan satunya lagi Goyang Dombret milik Ukat S. Rentang waktu penciptaan diantara dua lagu yang boleh dibilang magis itu -karena mampu membuat crowd- cukup senggang. Begitulah dangdut, kendati belum lagi terbilang lama, tapi dalam perjalanannya, musik melayu ini mempunyai tiang-tiang atau rambu-rambu yang menandakan akan kurunnya.

Dalam road to Dangdut ini, kita coba menguaknya ke dalam 3 dekade. Pertama periode 1950-1970. Pada periode inilah kita menamai sub ini sebagai Melayu Modern. Di dekade 50an ada beberapa Orkes Melayu (OM) yang menjadi pentolan, seperti OM Sinar Medan yang dikomandoi oleh Umar fauzi Azeran. Di dalam OM ini bergabung beberapa penyanyi seperti Emma Gangga, Hasna Thahar. A. Harris atau juga Munif Bahasuan. Lalu ada pula OM Kenanga pimpinan Husein Aidid dengan penyanyi Juhana Sattar, R.O Unarsih, OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik dengan sederet penyanyi, antara lain Nur’ain, Neng Yatima, atau Suhaimi. Dan ada pula OM Irama Agung yang dipimpin oleh S Effendi. Lalu di atas itu tercatat beberapa nama OM antara lain OM Candralela dengan penyanyi Elly Agus, OM Sinar Kemala dengan penyanyi andalan A Rafiq dan tercatat pula OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria dengan penyanyi andalan Elvy Sukaesih dan Titing Yenny.


Salah satu ciri khas orkes melayu pada saat itu antara lain, nama pimpinannya merupakan sebuah jaminan mutu, lalu setiap orkes melayu mempunyai lebih dari 3 penyanyi. Dan para penyanyi itu tentu saja berpindah-pindah dari satu OM ke OM lain. Biasanya, bila sang penyanyi (terutama penyanyi pria) sudah merasa besar, iapun mendirikan OM sendiri. Begitulah regenerasi OM pada saat itu.


Sedangkan ciri equipmentnya adalah, alat musiknya akustik, dengan standarisasi melayu, seperti akordion, suling, gendang, madolin, dan dalam perkembangan di era ini adalah organ mekanik serta biola. Dari hal ini bisa kita kukuhkan opini para pengamat musik terdahulu yang berkesimpulan bahwa Dangdut dan cikal bakalnya sangat dipengaruhi oleh musik-musik dari India, Arab, Tiongkok, dan barat (terutama dari Spanyol, Portugis dan Belanda). Ciri lagunya, sangat pakem, terutama
pada intro, dan interlude. Iramanya terbagi dalam tiga bagian yaitu senandung (sangat lambat), lagu dua (iramanya agak cepat) dan makinang (lebih cepat ). Liriknya masih lekat pada pantun, dan irama musiknya sangat melankolik. Jika ingin mengenal lagu lagu dalam dekade 50-60 ini maka kita bisa menyimak lagu-lagu seperti Burung Nuri, Harapan Hampa, Seroja atau Boneka Dari India.


Kedua adalah periode 1970-1990. Memasuki tahun 70, sesuai dengan perkembangan tehnologi, Dangdut mau tak mau harus menyesuaikan performnya dengan jaman. Karena hadirnya instrumen-instrumen elektrik, warna Dangdut ikut berubah. Kendati warna India (pada cengkok), dan Latin (perkusi yang makin doninan) tetap menjadi patokan, tapi unsur-unsur musik lain, seperti seperti rock dan blues menjadi mainan baru bagi musik ini.


Di era 70an, Dangdut seakan menemukan kostumnya yang lebih rapi. Inilah masa peralihan dari musik orkes melayu modern ke musik Dangdut. Dan tak dapat disangkal, kehadiran Rhoma Irama dengan Sonetanya menjadi sebuah momentum yang akbar. Masuknya sound rock (tepatnya sound milik Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple), terutama dengan distorsi pada gitar membuat Dangdut menjadi fenomenal.


Tak hanya itu, Rhoma Irama juga membawa pembaruan dalam showmanship. Kostumnya tak lagi ala teluk belanga dengan kopiah hitam, tapi berganti dengan celana ketat, kaus dengan belahan dada yang lebar, dan sepatu boots. Ingat saja menampilan Rhoma Irama ketika duet dengan Rita Sugiarto dalam klip lagu andalannya, Santai.

Karena memasuki kamar rock, maka ketika itu orang-orang rock pun merasa agak risih. Perihal Dangdut masih dianggap sebagai musik kaum marginal, yang masih dipandang sebelah mata oleh orang rock, itu dinyatakan secara frontal oleh Benny Soebardja. Gitaris Giant Step ini berkomentar bahwa musik Dangdut iyu taik kucing. Tak alang kepalang, masalah ini menjadi konflik yang panas di dua kubu musik ini. Beberapa diskusi kecilpun dibahas. Melihat dari sisi positifnya, karena hal itu pula Dangdut makin dilirik oleh masyarakat banyak. Rhoma tampil dengan arif dalam menghadapi masalah ini, dampaknya, nama Rhoma makin melambung.


Satu yang perlu dicatat dalam percaturan dunia musik Indonesia, kita tak terbiasa menghadapi polemik-polemik dengan ilmiah. Perseteruan Benny Soebardja terhadap Dangdut hanyalah salah satu kasus. Tapi ada satu hal yang belum terungkap. Pada tahun 1976, Ian Antono dan Achmad Albar (gitaris dan vocalis group rock Godbless) tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, dengan tiba-tiba melangsir album rock dangdut yang berjudul Zakia. Yang membuat lain, musik yang mereka buat benar-benar charming untuk ukuran Dangdut. Saya menduga bahwa Ian Antono ingin memberi tahu kepada rekan-rekan musisi Dangdut, bahwa beginilah harusnya lagu-lagu
Dangdut diaransemen. Sementara pada tahun itu di dunia dangdut belum lahir kepermukaan posisi seorang penata musik. Pengakuan penata musik di industri rekaman Indonesia baru muncul pada dekade 1990.


Tapi entah kenapa juga, album Zakia di sambut dingin oleh musisi Dangdut pada masa itu. Sedangkan pemusik rock malah tampak sebal pada proyek ini. Deddy Stanzah, bassist, voclais dan pendiri Rollies, (alm) bahkan menuduh mereka sebagai pengkhianat rock. Tapi yang pasti, lagu Zakia tersebut boleh dibilang salah satu lagu Dangdut yang lestari hingga hari ini.


Tapi apapun tantangan Dangdut dalam soal figur, ia tetap berkembang. Setelah Rhoma mengadakan pembaruan pada dekade 70, maka pada dekade 80an Dangdut berkembang lagi. Ledakan Tarantula (diprakarsai oleh Reynold Panggabean, mantan drummer Mercy’s dan Camelia Malik) dengan musik eksperimen yang lebih condong ke Latin itu menggebrak dunia permusikan Dangdut. Lagu seperti Colak-colek atau Wakuncar mengalami masa booming. Bedanya, jika Rhoma Irama pada akhirnya condong pada tema-tema yang relegius, maka Tarantula tampil dengan tema-tema yang remaja dengan ungkapan-ungkapan yang gaul.


Pada 80-an ini pulalah, lagu-lagu yang menjadi hits mulai menampakan gejala yang lain, yaitu unsur India makin tipis pengaruhnya pada dekade ini. Hal ini bisa kita simak seperti pada lagu Mandi Madu, Sakit Gigi atau pada lagu Duh Engkang. Bahkan lagu Duh Engkang, merupakan trend baru dalam perjalanan musik dangdut. Sejak lagu ciptaan Muchtar B ini di edarkan, Dangdut boleh dibilang kemasukan unsur tradisional. Sejak itu lahir lagu-lagu Dangdut dengan kombinasi etnik. Tapi disisi lain,
ada pula kembangan lain yang perlu dicatat, yaitu hadirnya pengaruh disco. remix atau beberapa lagu Dangdut dalam format pop. Atau Dangdut saduran dari lagu-lagu asli India, atau dari beberapa negara lain. Dan di era ini pula , Dangdut kedatangan penghuni baru, yaitu hadirnya pecipta-pencupta pop yang menemasuki wilayah Dangdut. Catat saja misalnya lagu Sakit Gigi yang diciptakan Obbie Messakh. Atau hadirnya pemusik pop dalam penggarapan lagu-lagu Dangdut, seperti lagu Mandi
Madu, dimana session playernya terdiri dari Mus Mujiono (gitaris jazz), Chairul D’Loyd (drammer).


Terakhir adalah era 1990-2002. Inilah masa-masa Dangdut menjadi sangat variatif. Dangdut sudah menjadi sebuah terminal, dimana di dalamnya lalu lalang hampir semua jenis dan aliran musik lainnya. Dan kalau kita lihat lagu-lagu Dangdut era terakhir, fenomenanya adalah kristalisasi dari bentuk-bentuk Dangdut awal. Salah satu tegasnya adalah lagu Mbah Dukun yang merupakan kristalisasi dari Dangdut era 70an. Di kekiniannya, Dangdut sudalah universal dan establis