Minggu, 20 Juni 2010

Perjalanan Musik Dangdut

Menurut perjalanan musik Dangdut, sebenarnya belumlah berkurun waktu lama. Catatannya baru mulai di era 70an.Tapi jika ingin mengikutsertakan cikal bakalnya, kita harus menengok ke awal dekade 50an. Kita harus memasuki dan mengenali musik melayu Deli yang berada di Sumatra. Dan kalaupun mau, kita masih bisa menelusuri sejarah musik Melayu Deli ini.


Tapi baiklah, road to dangdut ini kita mainkan dalam rentang 50an hingga hari ini. Untuk memudahkan, marilah kita menertibkan fikiran untuk menyimak dua buah lagu. Yang pertama, putarlah lagu Harapan Hampa karya Mashabi yang pada awalnya dinyanyikan oleh Nur Ain, lalu dipopulerkan oleh Hasna Thahar. Setelah itu putarlah lagu Mbah Dukun karya Endang Kurnia yang dinyanyikan oleh Alam. Kita pasti berkomentar bahwa ke dua lagu tersebut adalah dua hal yang berbeda. Atau bisa juga
kita simak dua komposisi yang cukup terbilang dahsyat, yang satu judulnya Kuda Lumping milik Rhoma Irama dan satunya lagi Goyang Dombret milik Ukat S. Rentang waktu penciptaan diantara dua lagu yang boleh dibilang magis itu -karena mampu membuat crowd- cukup senggang. Begitulah dangdut, kendati belum lagi terbilang lama, tapi dalam perjalanannya, musik melayu ini mempunyai tiang-tiang atau rambu-rambu yang menandakan akan kurunnya.

Dalam road to Dangdut ini, kita coba menguaknya ke dalam 3 dekade. Pertama periode 1950-1970. Pada periode inilah kita menamai sub ini sebagai Melayu Modern. Di dekade 50an ada beberapa Orkes Melayu (OM) yang menjadi pentolan, seperti OM Sinar Medan yang dikomandoi oleh Umar fauzi Azeran. Di dalam OM ini bergabung beberapa penyanyi seperti Emma Gangga, Hasna Thahar. A. Harris atau juga Munif Bahasuan. Lalu ada pula OM Kenanga pimpinan Husein Aidid dengan penyanyi Juhana Sattar, R.O Unarsih, OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik dengan sederet penyanyi, antara lain Nur’ain, Neng Yatima, atau Suhaimi. Dan ada pula OM Irama Agung yang dipimpin oleh S Effendi. Lalu di atas itu tercatat beberapa nama OM antara lain OM Candralela dengan penyanyi Elly Agus, OM Sinar Kemala dengan penyanyi andalan A Rafiq dan tercatat pula OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria dengan penyanyi andalan Elvy Sukaesih dan Titing Yenny.


Salah satu ciri khas orkes melayu pada saat itu antara lain, nama pimpinannya merupakan sebuah jaminan mutu, lalu setiap orkes melayu mempunyai lebih dari 3 penyanyi. Dan para penyanyi itu tentu saja berpindah-pindah dari satu OM ke OM lain. Biasanya, bila sang penyanyi (terutama penyanyi pria) sudah merasa besar, iapun mendirikan OM sendiri. Begitulah regenerasi OM pada saat itu.


Sedangkan ciri equipmentnya adalah, alat musiknya akustik, dengan standarisasi melayu, seperti akordion, suling, gendang, madolin, dan dalam perkembangan di era ini adalah organ mekanik serta biola. Dari hal ini bisa kita kukuhkan opini para pengamat musik terdahulu yang berkesimpulan bahwa Dangdut dan cikal bakalnya sangat dipengaruhi oleh musik-musik dari India, Arab, Tiongkok, dan barat (terutama dari Spanyol, Portugis dan Belanda). Ciri lagunya, sangat pakem, terutama
pada intro, dan interlude. Iramanya terbagi dalam tiga bagian yaitu senandung (sangat lambat), lagu dua (iramanya agak cepat) dan makinang (lebih cepat ). Liriknya masih lekat pada pantun, dan irama musiknya sangat melankolik. Jika ingin mengenal lagu lagu dalam dekade 50-60 ini maka kita bisa menyimak lagu-lagu seperti Burung Nuri, Harapan Hampa, Seroja atau Boneka Dari India.


Kedua adalah periode 1970-1990. Memasuki tahun 70, sesuai dengan perkembangan tehnologi, Dangdut mau tak mau harus menyesuaikan performnya dengan jaman. Karena hadirnya instrumen-instrumen elektrik, warna Dangdut ikut berubah. Kendati warna India (pada cengkok), dan Latin (perkusi yang makin doninan) tetap menjadi patokan, tapi unsur-unsur musik lain, seperti seperti rock dan blues menjadi mainan baru bagi musik ini.


Di era 70an, Dangdut seakan menemukan kostumnya yang lebih rapi. Inilah masa peralihan dari musik orkes melayu modern ke musik Dangdut. Dan tak dapat disangkal, kehadiran Rhoma Irama dengan Sonetanya menjadi sebuah momentum yang akbar. Masuknya sound rock (tepatnya sound milik Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple), terutama dengan distorsi pada gitar membuat Dangdut menjadi fenomenal.


Tak hanya itu, Rhoma Irama juga membawa pembaruan dalam showmanship. Kostumnya tak lagi ala teluk belanga dengan kopiah hitam, tapi berganti dengan celana ketat, kaus dengan belahan dada yang lebar, dan sepatu boots. Ingat saja menampilan Rhoma Irama ketika duet dengan Rita Sugiarto dalam klip lagu andalannya, Santai.

Karena memasuki kamar rock, maka ketika itu orang-orang rock pun merasa agak risih. Perihal Dangdut masih dianggap sebagai musik kaum marginal, yang masih dipandang sebelah mata oleh orang rock, itu dinyatakan secara frontal oleh Benny Soebardja. Gitaris Giant Step ini berkomentar bahwa musik Dangdut iyu taik kucing. Tak alang kepalang, masalah ini menjadi konflik yang panas di dua kubu musik ini. Beberapa diskusi kecilpun dibahas. Melihat dari sisi positifnya, karena hal itu pula Dangdut makin dilirik oleh masyarakat banyak. Rhoma tampil dengan arif dalam menghadapi masalah ini, dampaknya, nama Rhoma makin melambung.


Satu yang perlu dicatat dalam percaturan dunia musik Indonesia, kita tak terbiasa menghadapi polemik-polemik dengan ilmiah. Perseteruan Benny Soebardja terhadap Dangdut hanyalah salah satu kasus. Tapi ada satu hal yang belum terungkap. Pada tahun 1976, Ian Antono dan Achmad Albar (gitaris dan vocalis group rock Godbless) tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, dengan tiba-tiba melangsir album rock dangdut yang berjudul Zakia. Yang membuat lain, musik yang mereka buat benar-benar charming untuk ukuran Dangdut. Saya menduga bahwa Ian Antono ingin memberi tahu kepada rekan-rekan musisi Dangdut, bahwa beginilah harusnya lagu-lagu
Dangdut diaransemen. Sementara pada tahun itu di dunia dangdut belum lahir kepermukaan posisi seorang penata musik. Pengakuan penata musik di industri rekaman Indonesia baru muncul pada dekade 1990.


Tapi entah kenapa juga, album Zakia di sambut dingin oleh musisi Dangdut pada masa itu. Sedangkan pemusik rock malah tampak sebal pada proyek ini. Deddy Stanzah, bassist, voclais dan pendiri Rollies, (alm) bahkan menuduh mereka sebagai pengkhianat rock. Tapi yang pasti, lagu Zakia tersebut boleh dibilang salah satu lagu Dangdut yang lestari hingga hari ini.


Tapi apapun tantangan Dangdut dalam soal figur, ia tetap berkembang. Setelah Rhoma mengadakan pembaruan pada dekade 70, maka pada dekade 80an Dangdut berkembang lagi. Ledakan Tarantula (diprakarsai oleh Reynold Panggabean, mantan drummer Mercy’s dan Camelia Malik) dengan musik eksperimen yang lebih condong ke Latin itu menggebrak dunia permusikan Dangdut. Lagu seperti Colak-colek atau Wakuncar mengalami masa booming. Bedanya, jika Rhoma Irama pada akhirnya condong pada tema-tema yang relegius, maka Tarantula tampil dengan tema-tema yang remaja dengan ungkapan-ungkapan yang gaul.


Pada 80-an ini pulalah, lagu-lagu yang menjadi hits mulai menampakan gejala yang lain, yaitu unsur India makin tipis pengaruhnya pada dekade ini. Hal ini bisa kita simak seperti pada lagu Mandi Madu, Sakit Gigi atau pada lagu Duh Engkang. Bahkan lagu Duh Engkang, merupakan trend baru dalam perjalanan musik dangdut. Sejak lagu ciptaan Muchtar B ini di edarkan, Dangdut boleh dibilang kemasukan unsur tradisional. Sejak itu lahir lagu-lagu Dangdut dengan kombinasi etnik. Tapi disisi lain,
ada pula kembangan lain yang perlu dicatat, yaitu hadirnya pengaruh disco. remix atau beberapa lagu Dangdut dalam format pop. Atau Dangdut saduran dari lagu-lagu asli India, atau dari beberapa negara lain. Dan di era ini pula , Dangdut kedatangan penghuni baru, yaitu hadirnya pecipta-pencupta pop yang menemasuki wilayah Dangdut. Catat saja misalnya lagu Sakit Gigi yang diciptakan Obbie Messakh. Atau hadirnya pemusik pop dalam penggarapan lagu-lagu Dangdut, seperti lagu Mandi
Madu, dimana session playernya terdiri dari Mus Mujiono (gitaris jazz), Chairul D’Loyd (drammer).


Terakhir adalah era 1990-2002. Inilah masa-masa Dangdut menjadi sangat variatif. Dangdut sudah menjadi sebuah terminal, dimana di dalamnya lalu lalang hampir semua jenis dan aliran musik lainnya. Dan kalau kita lihat lagu-lagu Dangdut era terakhir, fenomenanya adalah kristalisasi dari bentuk-bentuk Dangdut awal. Salah satu tegasnya adalah lagu Mbah Dukun yang merupakan kristalisasi dari Dangdut era 70an.

Apa itu Dangdut

Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi). Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.

Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu.

Dangdut kontemporer telah berbeda dari akarnya, musik Melayu, meskipun orang masih dapat merasakan sentuhannya.

Orkes Melayu (biasa disingkat OM, sebutan yang masih sering dipakai untuk suatu grup musik dangdut) yang asli menggunakan alat musik seperti gitar akustik, akordeon, rebana, gambus, dan suling, bahkan gong. Pada tahun 1950-an dan 1960-an banyak berkembang orkes-orkes Melayu di Jakarta yang memainkan lagu-lagu Melayu Deli dari Sumatera (sekitar Medan). Pada masa ini mulai masuk eksperimen masuknya unsur India dalam musik Melayu. Perkembangan dunia sinema pada masa itu dan politik anti-Barat dari Presiden Sukarno menjadi pupuk bagi grup-grup ini. Dari masa ini dapat dicatat nama-nama seperti P. Ramlee (dari Malaya), Said Effendi (dengan lagu Seroja), Ellya (dengan gaya panggung seperti penari India), Husein Bawafie sang pencipta Boneka dari India, Munif Bahaswan, serta M. Mashabi (pencipta skor film "Ratapan Anak Tiri" yang sangat populer di tahun 1970-an).

Gaya bermusik masa ini masih terus bertahan hingga 1970-an, walaupun pada saat itu juga terjadi perubahan besar di kancah musik Melayu yang dimotori oleh Soneta Group pimpinan Rhoma Irama. Beberapa nama dari masa 1970-an yang dapat disebut adalah Mansyur S., Ida Laila, A. Rafiq, serta Muchsin Alatas. Populernya musik Melayu dapat dilihat dari keluarnya beberapa album pop Melayu oleh kelompok musik pop Koes Plus di masa jayanya.

Dangdut modern, yang berkembang pada awal tahun 1970-an sejalan dengan politik Indonesia yang ramah terhadap budaya Barat, memasukkan alat-alat musik modern Barat seperti gitar listrik, organ elektrik, perkusi, terompet, saksofon, obo, dan lain-lain untuk meningkatkan variasi dan sebagai lahan kreativitas pemusik-pemusiknya. Mandolin juga masuk sebagai unsur penting. Pengaruh rock (terutama pada permainan gitar) sangat kental terasa pada musik dangdut. Tahun 1970-an menjadi ajang 'pertempuran' bagi musik dangdut dan musik rock dalam merebut pasar musik Indonesia, hingga pernah diadakan konser 'duel' antara Soneta Group dan God Bless. Praktis sejak masa ini musik Melayu telah berubah, termasuk dalam pola bisnis bermusiknya.

Pada paruh akhir dekade 1970-an juga berkembang variasi "dangdut humor" yang dimotori oleh OM Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Orkes ini, yang berangkat dari gaya musik melayu deli, membantu diseminasi dangdut di kalangan mahasiswa. Subgenre ini diteruskan, misalnya, oleh OM Pengantar Minum Racun (PMR) dan, pada awal tahun 2000-an, oleh Orkes Pemuda Harapan Bangsa (PHB).
sukses terus Musik dangdut Indonesia.

sejarah dangdut

Merunut perjalanan musik Dangdut, sebenarnya belumlah berkurun waktu lama. Catatannya baru mulai di era 70an.Tapi jika ingin mengikutsertakan cikal bakalnya, kita harus menengok ke awal dekade 50an. Kita harus memasuki dan mengenali musik melayu Deli yang berada di Sumatra. Dan kalaupun mau, kita masih bisa menelusuri sejarah musik Melayu Deli ini.


Tapi baiklah, road to dangdut ini kita mainkan dalam rentang 50an hingga hari ini. Untuk memudahkan, marilah kita menertibkan fikiran untuk menyimak dua buah lagu. Yang pertama, putarlah lagu Harapan Hampa karya Mashabi yang pada awalnya dinyanyikan oleh Nur Ain, lalu dipopulerkan oleh Hasna Thahar. Setelah itu putarlah lagu Mbah Dukun karya Endang Kurnia yang dinyanyikan oleh Alam. Kita pasti berkomentar bahwa ke dua lagu tersebut adalah dua hal yang berbeda. Atau bisa juga
kita simak dua komposisi yang cukup terbilang dahsyat, yang satu judulnya Kuda Lumping milik Rhoma Irama dan satunya lagi Goyang Dombret milik Ukat S. Rentang waktu penciptaan diantara dua lagu yang boleh dibilang magis itu -karena mampu membuat crowd- cukup senggang. Begitulah dangdut, kendati belum lagi terbilang lama, tapi dalam perjalanannya, musik melayu ini mempunyai tiang-tiang atau rambu-rambu yang menandakan akan kurunnya.

Dalam road to Dangdut ini, kita coba menguaknya ke dalam 3 dekade. Pertama periode 1950-1970. Pada periode inilah kita menamai sub ini sebagai Melayu Modern. Di dekade 50an ada beberapa Orkes Melayu (OM) yang menjadi pentolan, seperti OM Sinar Medan yang dikomandoi oleh Umar fauzi Azeran. Di dalam OM ini bergabung beberapa penyanyi seperti Emma Gangga, Hasna Thahar. A. Harris atau juga Munif Bahasuan. Lalu ada pula OM Kenanga pimpinan Husein Aidid dengan penyanyi Juhana Sattar, R.O Unarsih, OM Bukit Siguntang pimpinan A. Chalik dengan sederet penyanyi, antara lain Nur’ain, Neng Yatima, atau Suhaimi. Dan ada pula OM Irama Agung yang dipimpin oleh S Effendi. Lalu di atas itu tercatat beberapa nama OM antara lain OM Candralela dengan penyanyi Elly Agus, OM Sinar Kemala dengan penyanyi andalan A Rafiq dan tercatat pula OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria dengan penyanyi andalan Elvy Sukaesih dan Titing Yenny.


Salah satu ciri khas orkes melayu pada saat itu antara lain, nama pimpinannya merupakan sebuah jaminan mutu, lalu setiap orkes melayu mempunyai lebih dari 3 penyanyi. Dan para penyanyi itu tentu saja berpindah-pindah dari satu OM ke OM lain. Biasanya, bila sang penyanyi (terutama penyanyi pria) sudah merasa besar, iapun mendirikan OM sendiri. Begitulah regenerasi OM pada saat itu.


Sedangkan ciri equipmentnya adalah, alat musiknya akustik, dengan standarisasi melayu, seperti akordion, suling, gendang, madolin, dan dalam perkembangan di era ini adalah organ mekanik serta biola. Dari hal ini bisa kita kukuhkan opini para pengamat musik terdahulu yang berkesimpulan bahwa Dangdut dan cikal bakalnya sangat dipengaruhi oleh musik-musik dari India, Arab, Tiongkok, dan barat (terutama dari Spanyol, Portugis dan Belanda). Ciri lagunya, sangat pakem, terutama
pada intro, dan interlude. Iramanya terbagi dalam tiga bagian yaitu senandung (sangat lambat), lagu dua (iramanya agak cepat) dan makinang (lebih cepat ). Liriknya masih lekat pada pantun, dan irama musiknya sangat melankolik. Jika ingin mengenal lagu lagu dalam dekade 50-60 ini maka kita bisa menyimak lagu-lagu seperti Burung Nuri, Harapan Hampa, Seroja atau Boneka Dari India.


Kedua adalah periode 1970-1990. Memasuki tahun 70, sesuai dengan perkembangan tehnologi, Dangdut mau tak mau harus menyesuaikan performnya dengan jaman. Karena hadirnya instrumen-instrumen elektrik, warna Dangdut ikut berubah. Kendati warna India (pada cengkok), dan Latin (perkusi yang makin doninan) tetap menjadi patokan, tapi unsur-unsur musik lain, seperti seperti rock dan blues menjadi mainan baru bagi musik ini.


Di era 70an, Dangdut seakan menemukan kostumnya yang lebih rapi. Inilah masa peralihan dari musik orkes melayu modern ke musik Dangdut. Dan tak dapat disangkal, kehadiran Rhoma Irama dengan Sonetanya menjadi sebuah momentum yang akbar. Masuknya sound rock (tepatnya sound milik Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple), terutama dengan distorsi pada gitar membuat Dangdut menjadi fenomenal.


Tak hanya itu, Rhoma Irama juga membawa pembaruan dalam showmanship. Kostumnya tak lagi ala teluk belanga dengan kopiah hitam, tapi berganti dengan celana ketat, kaus dengan belahan dada yang lebar, dan sepatu boots. Ingat saja menampilan Rhoma Irama ketika duet dengan Rita Sugiarto dalam klip lagu andalannya, Santai.

Karena memasuki kamar rock, maka ketika itu orang-orang rock pun merasa agak risih. Perihal Dangdut masih dianggap sebagai musik kaum marginal, yang masih dipandang sebelah mata oleh orang rock, itu dinyatakan secara frontal oleh Benny Soebardja. Gitaris Giant Step ini berkomentar bahwa musik Dangdut iyu taik kucing. Tak alang kepalang, masalah ini menjadi konflik yang panas di dua kubu musik ini. Beberapa diskusi kecilpun dibahas. Melihat dari sisi positifnya, karena hal itu pula Dangdut makin dilirik oleh masyarakat banyak. Rhoma tampil dengan arif dalam menghadapi masalah ini, dampaknya, nama Rhoma makin melambung.


Satu yang perlu dicatat dalam percaturan dunia musik Indonesia, kita tak terbiasa menghadapi polemik-polemik dengan ilmiah. Perseteruan Benny Soebardja terhadap Dangdut hanyalah salah satu kasus. Tapi ada satu hal yang belum terungkap. Pada tahun 1976, Ian Antono dan Achmad Albar (gitaris dan vocalis group rock Godbless) tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, dengan tiba-tiba melangsir album rock dangdut yang berjudul Zakia. Yang membuat lain, musik yang mereka buat benar-benar charming untuk ukuran Dangdut. Saya menduga bahwa Ian Antono ingin memberi tahu kepada rekan-rekan musisi Dangdut, bahwa beginilah harusnya lagu-lagu
Dangdut diaransemen. Sementara pada tahun itu di dunia dangdut belum lahir kepermukaan posisi seorang penata musik. Pengakuan penata musik di industri rekaman Indonesia baru muncul pada dekade 1990.


Tapi entah kenapa juga, album Zakia di sambut dingin oleh musisi Dangdut pada masa itu. Sedangkan pemusik rock malah tampak sebal pada proyek ini. Deddy Stanzah, bassist, voclais dan pendiri Rollies, (alm) bahkan menuduh mereka sebagai pengkhianat rock. Tapi yang pasti, lagu Zakia tersebut boleh dibilang salah satu lagu Dangdut yang lestari hingga hari ini.


Tapi apapun tantangan Dangdut dalam soal figur, ia tetap berkembang. Setelah Rhoma mengadakan pembaruan pada dekade 70, maka pada dekade 80an Dangdut berkembang lagi. Ledakan Tarantula (diprakarsai oleh Reynold Panggabean, mantan drummer Mercy’s dan Camelia Malik) dengan musik eksperimen yang lebih condong ke Latin itu menggebrak dunia permusikan Dangdut. Lagu seperti Colak-colek atau Wakuncar mengalami masa booming. Bedanya, jika Rhoma Irama pada akhirnya condong pada tema-tema yang relegius, maka Tarantula tampil dengan tema-tema yang remaja dengan ungkapan-ungkapan yang gaul.


Pada 80-an ini pulalah, lagu-lagu yang menjadi hits mulai menampakan gejala yang lain, yaitu unsur India makin tipis pengaruhnya pada dekade ini. Hal ini bisa kita simak seperti pada lagu Mandi Madu, Sakit Gigi atau pada lagu Duh Engkang. Bahkan lagu Duh Engkang, merupakan trend baru dalam perjalanan musik dangdut. Sejak lagu ciptaan Muchtar B ini di edarkan, Dangdut boleh dibilang kemasukan unsur tradisional. Sejak itu lahir lagu-lagu Dangdut dengan kombinasi etnik. Tapi disisi lain,
ada pula kembangan lain yang perlu dicatat, yaitu hadirnya pengaruh disco. remix atau beberapa lagu Dangdut dalam format pop. Atau Dangdut saduran dari lagu-lagu asli India, atau dari beberapa negara lain. Dan di era ini pula , Dangdut kedatangan penghuni baru, yaitu hadirnya pecipta-pencupta pop yang menemasuki wilayah Dangdut. Catat saja misalnya lagu Sakit Gigi yang diciptakan Obbie Messakh. Atau hadirnya pemusik pop dalam penggarapan lagu-lagu Dangdut, seperti lagu Mandi
Madu, dimana session playernya terdiri dari Mus Mujiono (gitaris jazz), Chairul D’Loyd (drammer).


Terakhir adalah era 1990-2002. Inilah masa-masa Dangdut menjadi sangat variatif. Dangdut sudah menjadi sebuah terminal, dimana di dalamnya lalu lalang hampir semua jenis dan aliran musik lainnya. Dan kalau kita lihat lagu-lagu Dangdut era terakhir, fenomenanya adalah kristalisasi dari bentuk-bentuk Dangdut awal. Salah satu tegasnya adalah lagu Mbah Dukun yang merupakan kristalisasi dari Dangdut era 70an. Di kekiniannya, Dangdut sudalah universal dan establis