Jumat, 02 Juli 2010

Jejak Musik Menimbang Dangdut

DARI tengah kota Jakarta, dari mulut seorang penyanyi muda Betawi bernama Ellya, melantunlah sebuah lagu Boneka dari India. Daun kalender menunjuk angka tahun 1956. Publik tergetar. Tergoda oleh sensualitas dan dinamisme yang unik dalam musiknya, serta penampilannya yang mendebarkan saat membawakan lagu yang diciptakan oleh Husein Bawafie itu. Lantas, seperti dapat diduga, Ellya pun masuk dunia film dan selama beberapa tahun membeludaklah pengikut musik Melayu yang kemudian sohor sebagai dangdut.

D>small 2small 0< pada awalnya tidak selalu menarik hati orang terpelajar, tetapi basis pengikutnya yang luar biasa luas di kalangan masyarakat kelas bawah telah mengundang banyak orang untuk memperbincangkannya. Tidak habis-habis orang mempertanyakan bagaimana mungkin dangdut bisa begitu fenomenal. Ia gencar dipertunjukkan dalam media televisi dan radio serta melalui pertunjukan-pertunjukan langsung di panggung-panggung terbuka. Merangsang masyarakat umum, bahkan anak-anak dan kalangan remaja, untuk menjadikannya sebagai pilihan saluran ekspresi.

Salah satu yang ikut dalam perbincangan itu adalah Dharmo Budi Suseno. Pada awal tahun 2005 terbit bukunya, Dangdut Musik Rakyat. Namun, bersama ini dipermaklumkan dengan hormat kepada para insan yang doyan memperbincangkan dangdut, lelaki atau perempuan, supaya memahami betul-betul perihal buku ini, sehingga tidaklah jadi menyesal di belakang hari, menggerutu atau memaki-maki, ibarat orang membeli barang lancung.

Patut diketahui, sebanyak 60 persen isi buku Dangdut Musik Rakyat adalah teks dan notasi lagu dangdut yang sering dibawakan pedangdut dan diminta penonton. Tambah 10 persen semacam cerita pendek tentang sepak terjang dan petualangan seorang dara yang berhasil memenangi kejuaraan dangdut, tetapi gagal menghadapi massa dangdut di panggung pertamanya.

Lalu, sebanyak 5 persen khusus dipersembahkan oleh sang pengarang untuk diva dangdut Cici Paramida unjuk gigi sebagai seorang pemegang gelar doktor dari America University dengan menuliskan pengantar. Nah, 25 persen sisanya barulah diisi dengan perbincangan hal ihwal dangdut yang meliputi sejarah, perkembangan aspek musikalitasnya yang merambah macam-macam jenis musik lain, serta perjalanan karier pesohor dangdut lengkap dengan rupa-rupa goyangnya dari ngebor sampai ngecor.

DARI yang 25 persen itulah dapat diketahui istilah dangdut muncul pada sekitar tahun 1972-1973, sebagai ejekan yang dicomot begitu saja dari bunyi gendang oleh intelek perkotaan Billi Silabumi di majalah Aktuil, ketika membahas musik Melayu yang laris manis bagai kacang goreng di kalangan masyarakat bawah. Sayangnya, Dharmo dalam menguraikan sejarah dangdut hanya mentok sampai pada tahun 1950-an dan perkaitannya dengan kelompok-kelompok orkes Melayu yang tumbuh marak saat itu. Padahal, beberapa pengamat melihat bahwa musik yang digambarkan secara onomatopoetik itu memiliki sejarah panjang dan asal-usul yang rumit.

Saking panjang dan rumitnya, William H Frederick dalam sebuah esainya yang menantang, "Rhoma Irama and Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesian Popular Culture" di majalah Indonesia (1982) menyebut bahwa dangdut itu-baik semangat sosial maupun peralatannya-bermula dari periode awal kolonial, saat paduan alat musik Indonesia, Arab, dan Barat dimainkan bersama-sama dalam tanjidor, yaitu orkestra mini yang khas dan dipertunjukkan sambil berjalan oleh para budak peliharaan tuan-tuan putih penguasa perkebunan di sekitar Batavia.

Sepanjang abad ke-19, pengaruh-pengaruh lain diserap, seperti dari ansambel China-Betawi yang disebut gambang keromong, lalu keroncong yang dimainkan dalam pertunjukan stambul dan tonil, sebuah drama populer perkotaan yang sedang naik daun sat itu.

Tahun 1940-an harmoni gaya lama secara bertahap memberi tempat untuk bereksperimen dengan irama Melayu yang dipermodern dan banyak dipengaruhi orkestrasi Barat serta irama samba dan rumba. Tahun 1950-an yang atmosfer politiknya menekankan pada pencarian sesuatu yang menunjukkan keaslian, akhirnya membawa para musisi keroncong modern tersebut memasuki tradisi orkes Melayu yang berkembang di daerah yang jauh dari ibu kota dan tempat tinggal para musisi dan kritikus musik, terutama daerah Padang dan Medan. Lagu-lagu ini sohor disebut sebagai lagu Melayu Deli.

Pada tahun 1953 P Ramlee, aktor dari Semenanjung (Malaysia) melalui film Djuwita, bukan saja telah membuat wabah gaya sisiran rambut sedeng alias belah pinggir, tetapi juga membawa sukses besar lagu-lagu Melayu Deli itu.

Said Effendi mendapat sumber inspirasi yang sama untuk film musikal Serodja (1959), di mana dia menulis sendiri musiknya dan menunjukkan akting yang sangat bagus, baik sebagai penyanyi maupun aktor. Dari sinilah bintang Said Effendi mulai bersinar bersama-sama dengan pencipta lagu dan penyanyi lain, seperti A Chalik, Husein Bawafie, dan Hasnah Thahar. Mereka diikuti penyanyi muda, Ellya, yang kemudian sangat terkenal dengan lagu Boneka dari India dan dianggap pantas untuk ditunjuk sebagai lagu dangdut pertama, sekalipun istilah dangdut belum pernah digunakan saat itu.

Keberhasilan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari kepiawaian Husein Bawafie, si pencipta lagu Boneka dari India, dalam mengambil irama dan tekstur bunyi baru (khususnya suara yang ditimbulkan gendang Indonesia, Arab, India, suling dan sitar) yang sebagian besar diambil dari film-film India yang ketika itu membanjiri Indonesia, tetapi dengan tetap menaruh setia pada irama Melayu.

Mungkin sebab itu pula pengamat sejarah Jakarta, Ridwan Saidi, menyatakan bahwa Husein Bawafie yang lahir tahun 1919 itu sebagai penggagas musik Melayu Jakarta dan tokoh yang memegang peranan penting sehingga Jakarta pada tahun 1950-an membukukan kedudukannya sebagai kiblat musik Melayu.

Saat itu memang ada beberapa orkes Melayu (OM) besar yang berdiri di Jakarta, seperti OM Sinar Medan di bawah pimpinan Umar Fauzi Asseran dengan penyanyi A Haris dengan lagu hit Kudaku Lari, Hasnah Thahar yang mendendangkan hit Chayal Penyair, Munif Bahaswan dengan lagu pertama Ditinggal Kekasih.

Ada juga OM Kenangan pimpinan Hussein Aidit dengan lagu yang terkenal Aiga, OM Bukit Siguntang pimpinan A Khalik dengan vokalis Suhaimi yang mencetak hit Burung Nuri, Halimun Malam, dan Cinta Sekejap, dan akhirnya adalah OM Irama Agung pimpinan Said Effendi yang memopulerkan lagu Khayalan Suci.

Namun, dari sekian banyak orkes Melayu itu, Husein Bawafie yang sejak tahun 1930-an telah menciptakan ratusan lagu melalui kelompok musiknya, OM Chandra Lela, dengan penyanyi M Mashabi dan Munif Bahaswan, telah membuat irama Melayu merajai dunia hiburan Jakarta dan memicu berdirinya orkes Melayu hampir di setiap kelurahan. Ia telah banyak memberikan sumbangan pada pembentukan tradisi musik Melayu Jakarta yang mempunyai kekhasan pada rancak yang dinamakan calte, serta rancak tabla, dan pukulan gendangnya yang berbeda dengan Deli dan Semenanjung. Selain itu, musik Melayu Jakarta juga meniadakan penggunaan gong sebagaimana menjadi ciri musik Melayu Deli dan Semenanjung.

DEMIKIANLAH akar-akar sejarah penjadian dangdut sehingga dapatlah lebih terang dan jelas bahwa musik Melayu yang dimaksud oleh Dharmo sebagai akar musik dangdut itu adalah musik Melayu yang berkembang di Jakarta. Selain itu, ada aspek penting dalam perkembangan musik Melayu Jakarta itu sampai ke dangdut yang tampaknya diabaikan oleh Dharmo, yaitu aspek dorongan politik Demokrasi Terpimpin. Pengabaian aspek ini pula yang membuat Dharmo melakukan kesalahan dalam penulisannya.

Dharmo menyebutkan bahwa memasuki tahun 1960, musik Melayu mulai terdesak oleh kehadiran musik rock yang berkembang di perkotaan. Justru pada masa itu yang terjadi adalah sebaliknya. Saat itu orientasi politik-budaya yang mencari keaslian bukan saja telah membawa musisi ke arah irama Melayu, tetapi juga di tingkat massa rupanya dapat memuaskan kebutuhan ideologis masa itu dengan sifatnya yang merakyat dan menawarkan alternatif untuk musik Barat. Apalagi pada tahun 1960-an itulah tengah gencar-gencarnya dilakukan pengganyangan terhadap musik Barat yang oleh kelompok sayap kiri dan nasionalis disapa dengan sebutan musik ngak-ngik-ngok dan dianggap sebagai musik yang merusak moral dan jauh dari kepribadian Indonesia.

Berbarengan dengan meletus peristiwa G30S tahun 1965 dan Soekarno serta segala eksperimen politiknya digulung, barulah perkembangan musik Melayu terlindas oleh gelombang musik rock, country, dan pop Barat yang membanjir mengisi kekosongan yang tercipta akibat larangan pemerintah terhadap musik impor sebelumnya. Apalagi pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto, sebelum membuka pintu untuk kegiatan ekonomi Barat, terlebih dulu membuka lebar-lebar pintu untuk musik rock Inggris dan Amerika yang di era Soekarno justru ingin dilinggis dan disetrika.

Pascaperiode itu, Dharmo memang membahas bahwa dangdut sempat terpukul, tetapi pada tahun 1970-an dangdut mengalami kebangkitan yang menandai era baru jenis musik ini melalui seorang anak muda kawasan modern Tebet, Jakarta Pusat, bernama Rhoma Irama. Ia telah merevolusi musik dangdut dalam peralatan ke arah elektrik sepenuhnya, pembawaan yang teateristik, irama serta lirik yang energetik dan realistik.

Namun, ada satu segi penting yang luput diperhatikan oleh Dharmo, yaitu revolusi dalam tataran profesionalitas bisnisnya yang ditunjukkan dengan mencopot Orkes Melayu di depan nama Soneta, seraya menambahkan kata Group di belakangnya, mengikuti perusahaan-perusahaan multinasional yang ramai bermunculan saat itu (Sinar Group, Kartini Group). Suatu tanda yang dapat dibaca sebagai ambisi agar kreativitas musik Soneta dapat berkombinasi dengan limpahan uang dan teknologi media elektronik (televisi, radio, dan film) untuk membentuk selera dan pasar raksasa. Termasuk juga perlunya dipaparkan segi kompleksitas hubungan dangdut Rhoma Irama dengan Islam dan fenomena sosial tahun 1970-an, di mana kian menganga jurang antara yang kaya dan miskin, yang berkuasa dan yang tidak berdaya, gedongan-kampungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar