Jumat, 02 Juli 2010

Persaingan Dangdut RI - Malaysia

Munif Bahasuan yang dianggap pelopor musik dangdut mengaku tidak tahu darimana istilah itu berasal. Sebab, ungkapnya, pada 1940-an sudah banyak musik yang lahir berbau dangdut, tetapi belum dinamakan musik dangdut," ujarnya.

Munif menyebut lagu Kudaku Lari, yang dilantunkan A Harris pada 1953, sebagai satu di antara lagu pelopor irama yang kelak disebut dangdut ini.

Alasan Munif, lagu itu telah memberanikan diri memasukkan suara gendang ala India pada orkes yang semula hanya memakai gitar, harmonium, bas, dan mandolin.

Pada 1950-an, selain ada A Harris, juga ada nama-nama penyanyi dangdut lain, seperti Emma Gangga, Hasnah Thahar, dan Juhana Satar. Tapi, kemudian datang masa ketika supremasi terhadap lagu-lagu berirama Melayu direbut negeri jiran Malaysia.

Popularitas P Ramlee, biduan Malaysia yang mengaku keturunan Aceh, memindahkan kiblat musik Melayu ke negeri itu. Melalui tembang Engkau Laksana Bulan dan Azizah, P Ramlee berjaya tak tersaingi. Apalagi setelah itu ia juga membintangi beberapa film layar lebar. Popularitasnya di Indonesia pun makin subur. Semua yang berbau Ramlee menjadi tren.

Tapi, pada 1960-an, muncullah Said Effendi, yang berhasil mengembalikan supremasi irama Melayu dari Malaysia ke Indonesia.

Lewat lagu Bahtera Laju, Said Effendi menempatkan diri sebagai pelantun irama Melayu nomor wahid negeri ini. Ia menyingkirkan popularitas P Ramlee.

Said Effendi memiliki lagu-lagu populer yang diciptakannya sendiri, seperti Bahtera Laju, Timang-timang, dan Fatwa Pujangga, serta lagu karya orang lain, misalnya Semalam di Malaysia (Syaiful Bahri) dan Diambang Sore (Ismail Marzuki).

Ketenaran Said Effendi makin tak tertahan ketika ia muncul dengan lagu Seroja karya Husein Bawafie. Sukses Seroja menarik minat sutradara Nawi Ismail untuk menokohkan Said Effendi ke dalam film dengan judul yang sama. Setelah itu, sutradara Asrul Sani pun menarik Said Effendi untuk membuat film Titian Serambut Dibelah Tujuh.

Pada 1960-an ini pula muncul nama-nama penyanyi seperti Ellya Agus --yang kelak menjadi Ellya Khadam-- Ida Laila, M. Mashabi, dan Munif Bahaswan --yang populer dengan lagu ciptaannya sendiri, Bunga Nirwana.

Pada akhir dekade ini pula mulai muncul penyanyi-penyanyi yang kelak menorehkan jejak penting dalam sejarah dangdut, seperti A Rafiq, Elvie Sukaesih, Muchsin Alatas, Rhoma Irama, dan Mansyur S.

Meski pada masa 1950-1960 irama Melayu menjadi jenis musik yang menyedot banyak penggemar, kepopulerannya benar-benar terdesak oleh kelahiran generasi pop 1960-an.

Band pop seperti Teruna Ria-nya Zaenal Arifin, Eka Sapta-nya Bing Slamet, dan Koes Bersaudara mulai menyemarakkan jagat musik Indonesia dengan gengsi yang lebih dari capaian orkes-orkes Melayu paling terkemuka. Tolok ukur keberhasilan mereka adalah tampil di Istora Senayan, Jakarta.

Sementara, pada saat itu, musik Melayu seolah teronggok di pinggiran. Kiprah orkes-orkes Melayu ini paling hanya sampai resepsi perkawinan. Mereka pun - kecuali sang penyanyi- masih memainkan musik sambil duduk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar